Strategi Menjemput Takdir Allah
Pada hakikatnya, kehidupan manusia tidak selamanya bisa berjalan sesuai rencana. Adakalanya kita pernah merencanakan sesuatu, misalnya dengan mengambil suatu jurusan di perkuliahan, maka akan bekerja sesuai dengan jurusan tersebut, tetapi ternyata prediksi itu melenceng. Atau terkadang kita mengira bahwa orang-orang yang kita cintai dapat hidup bersama selamanya, tetapi tiba-tiba Allah memanggilnya.
Berbicara tentang takdir, selalu menjadi teka-teki sepanjang kehidupan. Takdir merupakan suatu ketetapan Allah yang harus kita jalani. Sebagian manusia yang dalam hidupnya ditakdirkan serba berkecukupan, namun sebagian lainnya masih kekurangan. Adapun strategi menjemput takdir bagi umat Islam yakni:
Pertama, ikhtiar. Ikhtiar adalah upaya dengan sungguh-sungguh untuk meraih apa yang dikehendaki. Apabila seseorang ingin menjemput takdir yang baik, maka ia harus mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Misalnya jika manusia menghendaki kekayaan yang melimpah, hendaknya ia selalu berikhtiar. Kita harus menyertai ikhtiar yang baik dengan do’a
Do’a menjadi sebuah media komunikasi antara manusia dengan Allah. Berdo’a merupakan sebuah perbuatan yang memiliki nilai ibadah, sehingga jika kita berdo’a dengan niat ibadah, maka akan memperoleh pahala. Allah menganjurkan umat Islam untuk selalu berdo’a, sebagaimana firman-Nya:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
Terjemahan
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Ghafir: 60)
Do’a menjadi pedang bagi umat Islam. Pedang tersebut mampu menolak segala keburukan, sebagaimana senjata yang digunakan untuk mengalahkan musuh. Di samping itu, do’a juga menjadi cahaya bagi langit dan bumi. Artinya, do’a dapat menerangi segala sesuatu yang ada di langit maupun bumi. Oleh sebab itu, sudah seyogyanya kita melangitkan berdo’a sebanyak-banyaknya.
Kedua, tawakkal. Sesudah melakukan ikhtiar, hendaknya kita bertawakal kepada Allah. Ikhtiar dan tawakal merupakan suatu kesatuan yang sulit dipisahkan. Hal ini dapat kita gambarkan ketika sedang mengayuh sebuah perah. Kita mengibaratkan ikhtiar sebagai dayung di sebelah kiri, sedangkan tawakal sebagai dayung di sebelah kanan. Jika dayung kanan maupun kiri itu kita jalankan bersamaan, maka perahu bisa sampai tujuan dengan lancar. Namun, jika kita hanya mengayuh salah satu dayung, kita akan berputar-putar di tempat dan tidak mencapai tujuan yang kita inginkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi, diceritakan sebuah kisah menarik pada masa Nabi Muhammad. Suatu hari Nabi Muhammad melaksanakan salat di Masjid Nabawi. Tiba-tiba datang lah seorang yang sangat kaya menaiki seekor unta. Lalu orang tersebut mengikuti shalat jama’ah dan membiarkan untanya di luar begitu saja. Sontak Nabi Muhammad bertanya kepada orang tersebut ‘’Mengapa kamu mengabaikan untamu?.’’ Orang itu menjawab ‘’Aku berserah diri kepada Allah. Jika Allah menakdirkan untaku hilang, walaupun aku mengikatnya tetap lah hilang. Tetapi jika Allah masih menakdirkan untaku ada, maka aku akan memastikan hewan itu aman, meskipun tanpa aku ikat. Selanjutnya, Nabi Muhammad memerintahkan orang itu untuk mengikat untanya terlebih dahulu, baru bertawakkal kepada Allah.
Sebagai umat yang beriman, sudah sepatutnya kita memperkuat ikhtiar dan tawakal dalam setiap langkah kehidupan. Kita memaksudkan hal ini agar hidup kita selalu diiringi dengan keberkahan. Kita harus bersyukur atas semua takdir yang Allah berikan kepada kita, kemudian terus berupaya melalui ikhtiar dan tawakal, untuk menuju kehidupan yang lebih baik.