Sampailah kita pada bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, ampunan dan segala nikmat didalamnya. Kini saatnya kita berbahagia pula atas datangnya bulan Syawal yang diawali dengan hari Raya Idul Fitri. Umat muslim berbondong-bondong merayakannya. Menariknya, di Indonesia pada saat idul fitri memiliki adat yang sangat indah yakni halal bihalal dengan berkunjung dari rumah ke rumah dan saling berbagi rezeki.
Halal bihalal menurut profesor Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran, Beberapa aspek halal bihalal yang perlu dipahami dari gagasan Kiai Wahab Chasbullah dari segi hukum yakni halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal akan memberikan kesan bahwa acara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
Aspek lainnya secara bahasa yakni, Kata “halal” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “halla” yang memiliki berbagai bentuk dan makna yang sesuai dengan konteks kalimatnya. Beberapa makna tersebut termasuk menyelesaikan masalah atau kesulitan, merapikan kekacauan, menghilangkan kekuatan, atau membebaskan dari keterbelengguan.
Meminta maaf dan memberi maaf memiliki dampak yang luas pada kehidupan masyarakat. Tindakan memaafkan tidak hanya menjadi tradisi umat Islam di Indonesia saat Idul Fitri atau Lebaran, tetapi juga disarankan dalam ajaran Islam untuk mewujudkan makna sebenarnya dari Idul Fitri, yaitu kembali kepada kesucian seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Memaafkan memang sebuah kata yang mudah untuk dilontarkan, namun apakah dalam hati kita sudah ikhlas seperti halnya mulut kita?.
Al-Qur’an mendorong setiap Muslim untuk melakukan aktivitas yang positif dan membawa kebahagiaan bagi semua orang yang terlibat. Ini adalah alasan mengapa Al-Qur’an tidak hanya menekankan pentingnya memaafkan, tetapi juga mendorong untuk berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan terhadap kita. Melebarkan jiwa yakni mencari kedamaian batin, dengan berusaha meneladani sifat Nabi Muhammad Saw dengan tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak membalas keburukan dengan keburukan, dan selalu memaafkan dengan lapang dada.
Ada empat ciri orang-orang yang bertakwa menurut Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 133-134, yaitu orang yang berinfak di waktu lapang dan sempit, menahan amarah, suka memaafkan kesalahan orang lain, dan selalu berbuat baik. Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwasannya perbuatan yang menjadi ciri orang bertakwa salah satunya yakni memaafkan kesalahan orang lain, setiap manusia pasti memiliki kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Banyak konflik dalam kehidupan sehari hari dengan tetangga kita, pemicunya biasa dimulai dari hal materi, ucapan, atau perbuatan. Dari konflik tersebut mengajarkan kita untuk lebih menata hati agar melebarkan jiwa untuk memaafkannya dan menata hati agar tidak mudah membenci orang lain.
Dalam hal meminta maaf, seseorang perlu memiliki sikap ksatria yang mampu mengakui kesalahan kepada orang lain. Prinsip ini berasal dari pemahaman bahwa meminta maaf lebih sulit daripada memberi maaf. Namun, memberi maaf juga tidaklah mudah karena membutuhkan kedewasaan untuk menerima permintaan maaf dari orang yang pernah menyakiti perasaannya. Ketika seseorang memaafkan, ia menghilangkan jejak-jejak luka yang ada di hatinya. Ini berarti bahwa jika setelahnya masih ada rasa sakit yang tersisa di hati atau jika masih ada dendam yang menyala-nyala di dalamnya. Mungkin pada saat itu, yang dilakukannya hanyalah menahan amarah. Dengan demikian, ketika seseorang berhasil menghapus semua noda atau luka yang ada di hatinya, barulah ia bisa disebut telah memaafkan orang lain atas kesalahan yang telah dilakukan.