MEDIA SOSIAL DAN NILAI-NILAI INFORMASI DI MASA DEPAN

MEDIA SOSIAL DAN NILAI-NILAI INFORMASI DI MASA DEPAN

Media Sosial berkembang menjadi ruang public (new public sphere), di ruang ini demokrasi berjalan sebenar-benarnya (atau serusak-rusaknya). Media sosial menjadi ruang public yang bersifat paling sederajat, tidak ada perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, pangkat atau sesuatu yang tidak mungkin di dapat dari media dan ruang public lain. Dalam dunia masyarakat ataupun pendidikan saja, tidak mampu untuk sederajat itu, masih ada beberapa derajat sosial yang menjembatani, dosen-mahasiswa, guru-murid, pandai-bodoh, remaja-dewasa dan sebagainya dalam dunia media sosial. Keyakinan positive atau negative masyarakat  demikian tidak perlu ada, semua adalah sama.

Media sosial harus bisa menjembatani ruang komunikasi di dunia nyata yang kadang kaku. Pasca ditemukannya mesin cetak yang bisa dipindah oleh Gutteberg, majalah Koran dan beberapa media cetak dianggap mampu membuat perubahan. Hal itu menjadi harapan bagi pencerahan masyarakat, perubahan sosial. Ekonomi, politik termaksuk dalam melakukan control kekuasaan. Pasca itu muncul era media lain yang dipandang lebih efektif, radio dan televisi. Sampai fase ini, informasi dan komunikasi masih dapat tersaring, karena penyampaian komunikasi masih dapat tersaring dalam penyampaian informasinya yang dilakukan dengan professional. Siapapun bisa membuat berita, siapapun bisa melaporkan, entah sesuai kaidah atau tidak, itu adalah alasan kesekian.

Dalam beberapa kenyataan demikian, tidak semua pihak merasa bahagia. Kebebasan memang senyatanya adalah semu, kebebasan kita selalu dibatasi kebebasan orang lain, atau di sisi lain kebebasan selalu mengancam kebebasan kita.  Kebebasan dan kesederajatan yang tidak terbatas, menjadi sebuah titik nyata  dalam munculnya permasalahan yang baru. Adapun diantara musabab atau sebab nasalah itu adalah kenyataan media sosial yang bersifat sederajat (egaliter). Karena siapun dapat berpartisipasi, maka banyak jeda yang tak teratasi, dari jeda pengetahuan, jeda pendidikan, jeda pengalaman, jeda budaya dan lainnya.  Hasilnya berujung dalam benturan budaya dalam media sosial yang tak terelakan.

Media sosial adalah ruang public mementingkan aspek bawah sadar manusia (surealis). Dimana hal-hal yang shahih dan realistis dengan hal bohong atau ilusi berkelitan. Media sosial juga merupakan ruang terbuka yang luas, yang mana batasan antara jujur-bohong, realita-ilusi, sama semuanya dengan identitas penggunanya. Media sosial awalnya diciptakan sebagai media berbagi informasi dan berkomunikasi modern efektif. Hal itu menjadi perkembangannya kegaduhan yang disebarluaskan melalui media sosial.

Hoax misalnya, Hoax adalah penamaan secara populer bagi informasi yang tidak jelas validitasnya. Informasi bohong meski massif sering memicu banyak orang yang berakibat fatal. Hal itu memicu kerusakan tatanan moralitas dan mengancam nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat.

Adapun kerusakan nilai-nilai luhur dengan berkembanngnya berita-berita bohong yang merusak. Kerusakan moralitas dan nilai sudah jelas terlihat, yang mana lunturnya nilai-nilai luhur budaya bermasyarakat yang sudah luntur dalam gadget. Yakni nilai-nilai kejujuran dan kebenaran , yang mana telah  menjadi warna abu-abu. Popularitas semu ini dikejar melebihi nilai diri yang lain. Bahkan hoax diolah dan dijadikan bumbu provokasi oleh mereka, yang sering disebut sebagai organisasi trans-nasional. Hoax, seolah dimanfaatkan mereka dengan sebuah asumsi teori yang diujarkan oleh Ali bin Abi Tholib:”Kebohongan yang dituturkan berulang-ulang, akan seolah-olah menjadi kebenaran.” Dan hoax memang dibuat dengan sedemikian rupa oleh para cerdik cendekia, dan menggunakan untuk tujuan tertentu. Seperti tujuan politis, maupun sekedar meraup keuntungan ekonomi.

Hoax hamper bisa dikatakan sebagian dari hasil perjumpaan kaum terdidik yang serakah dan abai dalam nila-nilai kemanusiaan, dengan fanatisme golongan tak terdidik. Hal itu bisa terjadi karena sistem pendidikan yang tidak individu atau tercampur dengan banyak orang (visioner) dan cenderung  bersangkutan dengan politik yang berubah-ubah. Kepentingan pribadi yang mementingkan politik dan bisnisnya , merupakan hal yang abai dalam kepentinggan kemanusian bangsa. Kejujuran dan kebenaran bukan lagi termaksud etika dalam jurnalistik dan bertujuan dengan laba. Maka kita tidak boleh naïf, kita harus  melawan dan membenarkan bahwa hoax adalah bentuk tanda kebebasan berpendapat dengan meruntuhkan nilai dan prinsip kemanusiaan kita.

Bagikan

SISI LAIN LAINNYA