Air Murni, Tanah Subur, dan Bunga Palsu Generasi Emas 2045

Dalam sebuah lembah yang damai, air murni mengalir jernih dari hulu ke hilir, menyirami tanah-tanah yang subur. Di atas tanah itu, benih-benih tumbuh menjadi tanaman yang rimbun, kuat, dan berbunga indah. Tapi bayangkan jika air itu tetap murni, tanah itu tetap subur, namun yang ditanam adalah bunga palsu dari plastik yang tak berakar. Tak akan tumbuh apa-apa. Itulah analogi paling sederhana dari relasi antara zakat, infak, sedekah, hibah ibarat air murni dan para santri penghafal Al-Qur’an, guru Al-Qur’an, serta kaum mustahik ibarat tanah subur. Sayangnya, di tengah gairah berzakat umat, masih banyak lembaga zakat yang menanam bunga-bunga palsu di ladang-ladang harapan umat.

Zakat, infak, dan sedekah merupakan instrumen keuangan sosial Islam yang tidak hanya memurnikan harta, tetapi juga mendistribusikan kesejahteraan secara adil dan berkelanjutan. Potensi zakat nasional Indonesia, menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), mencapai Rp. 327 triliun per tahun. Namun, realisasi pengumpulan zakat nasional masih di bawah 10 persen dari potensi tersebut. Angka ini bukan hanya bicara soal kelembagaan, tapi juga soal kepercayaan publik dan relevansi program.

Di satu sisi, Indonesia menghadapi tantangan kemiskinan struktural yang tak kunjung hilang. Berdasarkan data BPS RI per Maret 2024, masih ada 25,22 juta jiwa atau 9,36% dari total penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini lebih tinggi di wilayah timur Indonesia dan daerah-daerah pinggiran perkotaan. Di tengah geliat pertumbuhan ekonomi digital, kelas menengah yang makin berkurang dan jurang ketimpangan pun kian melebar.

Di sisi lain, dunia pendidikan kita menghadapi ancaman darurat literasi. Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam survei PISA 2022. Anak-anak kita bukan hanya menghadapi keterbatasan fasilitas belajar, tetapi juga kehilangan figur guru yang mumpuni, terutama dalam pendidikan karakter dan nilai-nilai spiritual. Santri penghafal Al-Qur’an dan guru Al-Qur’an adalah bagian dari solusi sosial pada hari ini dan masa depan. Mereka bukan hanya pewaris ilmu, tapi penjaga moral peradaban.

Dalam konteks ini, peran lembaga zakat menjadi sangat strategis. Lembaga zakat bukan sekadar menjadi kanal distribusi dana umat, tetapi juga menjadi lembaga pembangunan sosial. Namun, banyak program lembaga zakat yang lahir dari proposal yang tidak dipelihara dengan ruh dakwah. Mereka sekadar memenuhi target penyaluran, bukan menumbuhkan peradaban. Maka, yang lahir adalah bunga-bunga palsu: program yang cantik dalam desain, namun hampa dalam dampak perubahan.

Kita melihat program beasiswa tahfizh yang hanya sekadar memberi uang saku tanpa ekosistem pembinaan. Kita melihat bantuan guru ngaji yang tak kunjung berkelanjutan karena tak dibekali pelatihan pedagogis dan spiritual. Kita juga melihat kampanye dakwah digital yang viral di media sosial namun kehilangan sentuhan nyata di komunitas akar rumput. Semuanya nampak seperti hasil yang indah, tapi tidak otentik tidak membumi.

Padahal, jika benar-benar dikelola dengan kesungguhan keberpihakan, zakat dapat membangun peradaban dari akar. Para mustahik yang diberikan modal produktif bisa menjadi muzaki. Para santri yang difasilitasi hafalan dan pendidikannya bisa menjadi pemimpin masa depan. Dan para guru yang didampingi secara profesional bisa menjadi peletak batu pertama dalam pembangunan karakter bangsa. Tapi semua ini butuh kesungguhan, bukan sekadar pencitraan. Karena sejatinya amil zakat, para pengelola zakat, itu bertanggungjawab pada umat bukan (mustahik dan muzakki) hanya pada atasan.

Kita sedang menuju era Generasi Emas 2045 di mana Indonesia akan mencapai usia 100 tahun kemerdekaan dan bonus demografi sedang dalam puncaknya. Namun ancaman serius mengintai misalnya pengangguran lulusan sekolah menengah yang tinggi, disinformasi di ruang digital, intoleransi yang tumbuh diam-diam, serta dekadensi moral akibat kehilangan arah spiritual. Dalam konteks ini, siapa yang bisa menjadi penjaga nilai? Siapa yang bisa membimbing arah? Kita butuh para penjaga zaman, penjaga negeri, dan penjaga moral.

Di sinilah pentingnya investasi zakat pada sektor pendidikan Qur’ani dan penguatan kapasitas guru serta dai. Bukan hanya dengan membangun pesantren megah, tapi dengan mengakar pada komunitas, mendampingi mustahik, mengembangkan kurikulum yang kontekstual, dan memfasilitasi tumbuhnya komunitas literasi Qur’an yang hidup dan menghkdupi. Sebab, zakat bukan hanya tentang “memberi”, tapi tentang “mengangkat” dan “menghidupkan”.

Sungguh ironis jika umat Islam memiliki instrumen keuangan sosial yang luar biasa, namun digunakan dengan cara yang mekanis dan simbolik. Maka wajar jika hasilnya juga simbolik: tak mengakar, tak mengubah, tak menumbuhkan. Lembaga zakat harus kembali pada visi kenabian yaitu membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan keterasingan dari Tuhannya.

Mari kita renungkan kembali. Apa arti keberhasilan program zakat suatu lembaga? Apakah hanya angka penyaluran yang tinggi? Ataukah perubahan riil pada kehidupan mustahik dan kualitas moral masyarakat? Jika jawaban kita adalah yang kedua, maka kita tak bisa lagi menanam bunga palsu. Kita harus menanam benih asli, menyiram dengan air yang jernih, dan merawat dengan kesungguhan hati.

Sudah saatnya lembaga zakat di Indonesia melakukan transformasi paradigma dari charity menjadi empowerment, dari simbolisme menjadi keberdayaan, dari laporan eksklusif ke dampak yang inklusif. Kita butuh lembaga zakat yang tidak hanya pandai mendesain dan mengumpulkan sumber daya untuk program, tapi juga pandai menyelami realitas dan berani hadir dalam penderitaan umat.

Kekuatan zakat tidak terletak pada jumlah uang yang terkumpul, tapi pada kesungguhan dalam pengelolaannya. Tanah yang subur tidak akan melahirkan kehidupan jika ditaburi benih palsu. Air yang murni takkan memberi manfaat jika tidak dialirkan dengan benar. Maka lembaga zakat harus menjadi juru alir yang adil, jujur, dan berani menolak kemunafikan manajerial.

Ketika seorang santri bisa menghafal Al-Qur’an dengan layak karena zakat. Ketika seorang guru Al-Qur’an bisa mengajar dengan tenang karena infak. Ketika sebuah desa bisa memiliki madrasah karena sedekah. Maka di situlah bunga-bunga asli akan tumbuh. Harumnya akan menjangkau langit. Dan akarnya akan menembus bumi. Itulah peradaban yang tidak lekang karena badai perubahan zaman.

Di tengah gempuran arus global, perubahan iklim, dan ketidakpastian geopolitik, lembaga zakat tidak boleh berjalan seperti biasa. Kita harus menanam kembali impian umat dengan sungguh-sungguh, menyiramnya dengan air yang jernih, dan menumbuhkannya di ladang yang benar. Agar tak ada lagi bunga palsu di taman-taman harapan. Tentunya, agar benih generasi emas 2045 benar-benar lahir dari akar, bukan dari yang dibeli di toko plastik.

 

Maulana Kurnia Putra, S.Sos., MA.

Bagikan

SISI LAIN LAINNYA