SEJARAH LAHIRNYA KITAB KUNING DI PESANTREN

SEJARAH LAHIRNYA KITAB KUNING DI PESANTREN

Menurut kalangan para santri, istilah kitab kuning (yellow book) sangat akrab sekali sewaktu mereka tinggal di pondok pesantren. Lapiran atau lembaran naskah yang di tulis  dengan teks berbahasa arab di atas kertas berwarna kuning, berisi tema-tema keislaman dari berbagai disiplin ilmu keilmuan yang di pelajari di pondok pesantren; ilmu akidah, ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu akhlak, ilmu bahasa dan banyak lagi. Tetapi sedikit dari mrereka yang mengetahui sejarah asal mula lahirnya “Kitab Kuning”.

Dikemukakan dalam tulisan Martin Van Brueinessen berjudul “pesantren and kitab kuning: Maintenance And Countinuation Of A Tradition Of Religius Learning’’ menuliskan dalam pengantarnya bahwa “Kitab Kuning” di kenal akrab oleh kalangan santri nusantara, bentukknya yang mengunakan kertas berwarna kuning disertai komentar (syarh) pada sisi margarin atau bersambung (hasyiyyah) dengan teks pokok (matan) kitab tersebut menjadi karakter yang khas untuk menyebut teks klasik ini dan menyempatkan sebagai warisan intelektual, meskipun beberapa peneliti barat dan kelompok reformis bahkan juga sebagai sarjana muslim modern menolak keabsahan sebagai literature ilmiyah, namun “kitab kuning” memiliki perannya tersendiri dalam merekam sejarah manusia, khususnya pendidikan pesantren yang sampai saat ini terus lestari dan mampu bertahan dalam kontestasi peradaban global.

Pada masa  sebelumnya, pendahulu Martin seorang orentalis yang tertarik melakukan riset di pesantren yang bernama L.W.C, van deg Berg dalam laporan penelitiannya berjudul “pesantren curriculum” pada tahun 1886, ia merinci koleksi kitab kuning yang berada dan di pelajari pesantren jawa dan Madura yang kisaran 50 judul danbeberapa diantaranya dijelaskan oleh Berg sebagai kitab kurikulum yang diterapkan di pesantren. Masyarakat pesantren mengenal dua penyebutan dalam dunia literasi, yakni “buku” untuk tulisan yang ditulis dengan huruf roman, “kitab” untuk skrip yang menggunakan skrip yang menggunakan huruf arab. Hal ini terjadi pada tahun 1960 dimana tipologi ke-Islaman kala itu dibedakan ke dalam dua arus besar, modernis dan tradisionalis (Muhamadiyyah dan Nahdhotul Ulama’), maka cara menyebutkan pembelajaran keilmuan islam dalam study yang lebih intensif, muncullah istillah penamaan “kitab kuning”. Seiring dikenalnya kertas berwarna kuning, hasil impor dari timur tenggah pada abad 20 awal.

Perkembangan teknologi dalam literasi pondok pesantren sudah di kenal sejak abad ke 18. Proses scanning (penyalinan) dalam bentuk digital menjadi salah satu fakta jika kitab kuning di wariskan pesantren jawa dalam beberapa disiplin ilmu keislaman dari tiga pondok pesantren di Jawa Timur, Pesantren Widang Tuban, Pesantren Tarbiahal-Thalabah Lamongan, Pesantren Tegal Sari Ponorogo. Hal yang menarik didalamnya, ditemukkan kitab-kitab kuning warisan pesantren dalam bentuk aslinya. Sebagian ditulis dalam bahasa jawa pegon. hal ini menyimpulkan tanda sebuah potret sejarah intelektual pesantren yang unggul dalam ilmu pada masanya, dan yang patut disesali

Bagikan

SISI LAIN LAINNYA