KEBERADAAN AL-QUR’AN SEBAGAI PUSAKA

KEBERADAAN AL-QUR’AN SEBAGAI PUSAKA

Sejarah awal umat islam hingga kini berupaya untuk memahami isi kandungan al-Qur’an. Bagi kaum muslimin, di samping al-Qur’an menjadi kitab suci, Al-Qur’an juga termaksud kitab pedoman dalam kehidupan mereka, yang mana selalu di jadikan rujukan utama dalam menyelesaikan segala problem kehidupan yang di hadapi. Pandangan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan  kitab suci yang menjadi manhaj al-hayyah (pedoman hidup). Umat diperintahkan untuk senantiasa, memahami dan mengamalkan isi kandungannya agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

Pandangan nyata kehidupan, fenomena “Pembaca Al-Qur’an” sebagai sebuah apresiasi dan respon umat islam yang sangat beragam. Ada berbagai model pembacaan al-Qur’an, mulai yang berorentasi pada pemahaman  dan perdalaman maknanya, sampai yang sekedar membaca Al-Qur’an sebagai ibadah ritual atau untuk memperoleh ketenangan jiwa. Adapula karakter terhadap al-Qur’an  yang berorentasi kepada upaya mendatang kekuatan magis(pengobatan, tolak balak).

Gambaran umum tentang respon umat islam terhadap kitab sucinya (Al-Qur’an) ini sudah terlihat jelas pada masa rosulullah dan para sahabat . mereka menjadikan al-Qur’an sebagai objek hafalan (Tahfidz), pembacaan-pengajaran (sima’) dan kajian tafsir di samping sebagai objek pembelajaran (sosialisasi) ke berbagai daerah dalam bentuk “majelis Al-Qur’an”, sehingga al-Qur’an tersimpan di dada para sahabat. Demikian pula, jika ada sahabat yang terkena suatu ganguan nabi sering membacakan ayat-ayat tertentu sebagai solusi atas masalah yang dihadapi.

Penyebaran Al-Qur’an di seluruh dunia, banyak respon Al-Qur’an berkembang dan bervariatif, tak terkecuali umat islam di Indonesia. Hal demikian terbukti dari fenomena yang muncul dari tradisi yang di lestarikan dari generasi ke generasi di semua kalangan dan kelompok keagamaan. Mereka berinteraksi dengan al-Qur’an melalui pembacaan, pemahaman, pengalaman, penghormatan dan tafsir serta aneka interaksi manusia dengan al-Qur’an. Fenomena tersebut mencerminkan bahwa Al-Qur’an” setiap kehidupan adalah  hidup dalam al-Qur’an atau menghidupi-Nya (everyday life of the Qur’an or living qur’an”).

Awal penelitian di desa Ngantru, kecamatan Ngantru diketahui adanya fenomena menarik dari interaksi masyarakat terhadap Al-Qur’an. Ada sebagian masyarakat yang menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai “Jimat”, guna melindungi diri dan harta bendannya sebagaiman yang di lakukan oleh semua  masyarakat desa ngantru kabupaten tulungagung. Mereka memandang wujud teks “Al-Qur’an “ merupakan mukjizat yang dapat memberikan keistimewaan berupa penyembuhan , kekuatan, keselamatan, penyembuhan dan lainya, yang mana hal tersebut diamalkan dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan cara-cara dan konsep tertentu.

Jimat atau azimat dalam bahasa Arab disebut dengan tamimmah yang mempunyai arti penyempurna. Makna  tamimmah adalah setiap benda yang di gantungkan di leher atau selainya untuk melindungi diri, menolak bala’, menangkal penyakit  dan dari bahaya apapun. Dengan kata lain bahwa jimat adalah segala yang diyakini memiliki berkah untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti: kalung, batu akik, ikat pinggang, rajah (tulisan arab yang di tulis perhuruf dan kadang ditulis terbalik), dan lain-lain.

Tulisan rajah terdiri dari huruf-huruf hijaiyah yang lahir di tanah  Arab, maka Ilmu Rajah cukup populer di Arab. Setelah turunnya Nabi Muhammad saw membawa risalah al-Qur’an, rajah lahir dari mukasyafah (tirakat/ijtihad) para auliya’ sehingga mampu mengetahui rahasia keistimewaan di balik setiap huruf-huruf al-Qur’an. Menurut para pembuat rajah al-Qur’an, bahwa di setiap huruf dalam ayat-ayat al-Qur’an terdapat khodam (penjaga) berupa malaikat yang di utus untuk menjaga ayat-ayat Allah Swt.

Ayat-ayat al-Qur’an dijadikan bacaan praktek spiritual dikalangan mereka untuk menghilangkan gangguan dan pengaruh buruk dari jin  dan syaitan dalam praktik ruqyah atau penyembuhan alternatif lainnya, adapun sebagian dijadikan wirid dengan jumlah bilangan tertentu guna memperoleh kemuliaan atau keberuntungan duniawi dengan jalan riyadhoh(Tirakat). Kesinambungan hubungan di atas seringkali di sebut sebagai fenomena Al-Quran yang hidup dan bergaul dengan sosial budaya masyarakat. Dalam belajar al-Qur’an hal tersebut merupakan model pembelajaran fenomena sosial masyarakat  muslim dengan kesinambungan terhadap al-Qur’an yang menjadi sasaran belajarnya. Semoga apa yang telah kita pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan berkah, serta bisa kita lanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, bi idznillaah. Aamin, wa shalla Allah ‘ala sayyidina Muhammad al-Mushtafa. Al-Fatihah.

Bagikan

NGAJI PANGURIPAN LAINNYA

NGAJI PANGURIPAN LAINNYA