Perbedaan praktek pengabdian di masyarakat, dipengaruhi oleh corak kebudayaan masing-masing pesantren. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengabdian pesantren khususnya, seperti pondok salaf yang tetap eksis bertahan dan berkembang. Adapun pengabdian pesantren sallaf dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu membantu keagamaan masyarakat, meningkatkan kebutuhan masyarakat dan berkiprah sebagai alumni pesantren di masyarakat. Pengabdian di atas digambarkan seperti buah, yang merupakan hasil kerja keras dari pendidikan pesantren. Adapun landasan seorang santri dan menjadi suatu komitmen yang tegas, alasan santri mengabdi kepada kyai adalah agar ia mendapatkan barakah.
Barakah tersebut dapat diperoleh melalui pengabdian atau barakah tersebut adalah pengabdian itu sendiri, sehingga banyak dikalangan santri yang memilih mengabdi pada kyai. Tetapi ada juga yang menyalahgunakan pengabdian sehingga meninggalkan belajar, demi mencari barokah saja. Pendapat seperti itu tidak bisa disalahkan, karena realitasnya ada banyak santri yang mendapatkan barakah sebab khidmah.
Barakah secara bahasa adalah ziyadatul khoir (bertambahnya kebaikan). Jika orang setiap waktu bertambah lebih baik, maka orang tersebut mendapatkan barakah. Adapula yang menjelaskan barakah adalah sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan , sehingga makna dari barokah tersebut menjadi lebih luas lagi. Untuk mendapatkannya bisa dilakukan dengan mudah meski tanpa pengabdian kepada guru. Namun dalam hal ini santri memaknai barakah bisa diperoleh melalului pengabdian di pondok pesantren.
Fenomena khidmah atau mengabdi dalam pesantren, bisa dijelaskan melalui salah satu pandangan dari teori sosial yang disebut interaksionisme simbolik. Adapun hal tersebut merupakan pandangan tentang tindakan manusia dalam menjalin hubungannya dengan sesama anggota masyarakat. Makna hal-hal yang muncul, antara seseorang dan kawannya adalah sebuah proses yang mempunyai banyak pengalaman kehidupan.
Dalam hal ini pesantren memiliki tradisi yang kuat dalam mempraktikkan pandangan tersebut. Hubungan antara santri dan kyai adalah interaksi simbolik yang menentukan sikap dari masing-masing pihak. Misalnya santri yang mau mengabdi meskipun harus memberikan waktu dan tenaganya tanpa diberikan bayaran sepeserpun oleh kyai atau ustadz. Salah satu alasannya adalah kesadaran santri betapa berhargannya ilmu yang diperolehnya dari kyai.
Kyai sangat berperan dalam melakukan transmisi ilmu pengetahuan. Hubungan Kyai dan santri diikat oleh emosi keagamaan sedemikian rupa, sehingga setiap pandangan dan pendapat kyai adalah pegangan bagi santri. Hubungan emosional tersebut yang membuat peran dan fungsi kyai menjadi kuat dalam mensosialisasikan nilai-nilai baru terhadap santri. Demikian kuatnya kedudukan kyai sehingga muncul konsep supranatural yang dipercaya oleh masyarakat, yang mana hal tersebut hanya dimiliki oleh seorang kyai dan santri yaitu konsep barokah.
Barakah merupakan kultur yang tumbuh dikalangan santri, yang berkeyakinan apapun resikonya, selamanya mereka mematuhi nasehat dan saran-saran kyai, pada akhirnya mereka akan berhasil. Adapun yang mengkaitkan kultur ini dengan efek-efek sakral, yang berasal dari doa kyai yang sangat tulus untuk para santrinya. Kyai di pesantren adalah orang-orang yang tak hanya berilmu, akan tetapi juga berkepribadaian dan memiliki pemahaman yang sangat dalam atas berbagai fenomena kehidupan.
Santri sebagai kaum muda yang masih mencari jati dirinya akan tersesat tanpa jalan untuk kembali , tanpa adanya tempat bernaung dan bertanya. Bagi santri ‘role model’ itu adalah Kyai. Sehingga jika kita meniru jejak-langkah para alim-bijaksana tersebut, kita juga akan sampai pada titik kesuksesan.
Di pesantren, selain melalui pengajian yang berkaitan dengan barakah, kyai juga memberikan stimulus bagi santri dengan cara berlaku arif (baik) serta bijaksana, hal tersebut layaknya menjadi motivasi bagi santri dalam memaknai arti ‘Barakah’ melalui simbol yang diberikan. Diantara bentuk-bentuk pengabdian santri yaitu memasak, mengurus sawah, mengurus ternak, dll. Pengabdian tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa mengharap upah, karena yang diinginkan santri mengabdi untuk barakah. Dengan catatan selama santri melakukan pengabdian tidak meninggalkan kewajiban mereka (menuntut ilmu) dengan melakukan kegiatan dan menaati peraturan yang ada di pesantren.