TENTANG PENDAPATAN DONOR DARAH DARI ‘HABIB’ DAN PEROLEHAN ZAKAT

PENDAPATAN DONOR DARAH

Pertanyaan  :

  1. Apakah orang biasa yang mendapat donor darah dari seorang habib, maka orang itu disebut habib karena di tubuhnya mengalir darah dari cucu Rasulullah Saw?
  2. Apakah beras dari zakat, boleh dizakatkan lagi atau dijual?

Jawaban       :

  1. Perlu dipahami terlebih dahulu pengertian tentang habib itu sendiri. Habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah Saw yang dicintai. Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertakwa kepada Allah. Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya.

Berdasarkan keterangan diatas, meski ada darah yang dialirkan, maka sama sekali tidak bisa dikatakan atau menjadi habib. Karena yang dimaksud aliran darah tersebut adalah “dzurriyah” atau keturunan Rasulullah Saw.

  1. Pertama, zakat fitrah diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu. Ukuran mampu untuk zakat fitrah, berbeda dengan ukuran mampu dalam zakat maal berupa nishab dan haul (genap satu tahun). Seorang dinilai mampu melakukan zakat fitrah, ketika ia memiliki sisa makanan pokok untuknya dan keluarganya di hari raya idul fitri.

Misal seseorang memiliki stok beras 12 kg di hari raya idul fitri. Ia memiliki keluarga satu anak, satu istri. Sehingga tanggungan nafkah ada tiga bersama dia. Kebutuhan berasnya untuk makan sekeluarga sehari misalnya ½ kg. Maka dia tetap wajib menunaikan zakat fitrah. Karena dari 12 kg tersebut, masih tersisa 11,5 kg beras. Maka dari sisanya itu digunakan untuk menunaikan zakat fitrah sebanyak 9 kg, dengan asumsi zakat per kepala 3 kg.

Di dalam Ensiklopedi Fikih diterangkan;

قَالَ الشَّافِعِيَةُ وَالْحَنَابِلَةُ : إِنَّهَا تَجِبُ عَلَى مَنْ عِنْدَهُ فَضْلُ عَنْ قُوْتِهِ وَقُوْتِ مَنْ فِيْ نَفَقَتِهِ لَْيلَةَ الْعِيْدِ وَيَوْمِهِ…

Para ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali berpandangan, bahwa zakat fitrah wajib bagi setiap muslim yang memiliki kelebihan makanan pokok untuknya dan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya di malam dan siang hari raya idul fitri. (Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 23/337). Pendapat ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama, selain Mazhab Hanafi (idem).

Kedua, beras zakat yang telah diserahterimakan kepada kaum miskin, sudah menjadi hak milik penuh kaum miskin penerimanya. Sehingga, ia berwenang penuh menggunakan beras zakat tersebut. Dijual boleh, di barter boleh, termasuk juga dibayarkan zakat untuk dirinya dan keluarganya juga boleh.

Hanya saja jika kaum miskin penerima zakat fitrah itu ingin membayar zakat dengan beras zakat yang ia terima, poin pertama di atas harus terpenuhi terlebih dahulu, yaitu ia memiliki sisa makanan pokok untuknya dan keluarganya di hari raya idul fitri. Jika tidak memiliki makanan sisa atau bahkan kurang, maka tidak wajib zakat fitrah.

Bagikan