Ketika banyak kalangan berbicara tentang digitalisasi dakwah, satu kelompok masyarakat masih sering tercecer dari ruang dakwah konvensional: komunitas Tuli. Padahal mereka pun memiliki kerinduan yang sama untuk memahami Kalamullah. Di sinilah pentingnya gerakan Tuli Mengaji Indonesia — sebuah inisiatif sosial-keagamaan yang membumikan Al-Qur’an lewat bahasa isyarat.Gerakan ini tidak hanya mengajarkan huruf hijaiyah kepada santri Tuli, tetapi menghadirkan makna dakwah yang inklusif: bahwa Al-Qur’an tidak hanya untuk mereka yang mampu mendengar, tetapi juga bagi mereka yang selama ini hidup dalam kesunyian. Inilah esensi “mengal-Qurankan masyarakat dan memasyarakatkan Al-Qur’an”— upaya membawa Al-Qur’an hadir di ruang yang paling sunyi sekalipun.
Gerakan dari Ruang Sunyi
Sejak digagas oleh PPPA Daarul Qur’an, Tuli Mengaji Indonesia berkembang menjadi komunitas Qur’ani yang unik. Berdasarkan data internal PPPA Daarul Qur’an (2024), gerakan ini telah hadir di lebih dari 10 provinsi, termasuk D.I. Yogyakarta sebagai pusat pembinaan pertama dan Jawa Timur sebagai pionir gerakan pelatihan Qur’an Isyarat berskala besar.
Di Yogyakarta, lebih dari 60 Muslim Tuli aktif mengikuti pembelajaran rutin membaca Al-Qur’an menggunakan bahasa isyarat, dengan pendamping yang juga memahami dunia Tuli. Sedangkan di Jawa Timur, pada Bimtek dan ToT Qur’an Isyarat (2–3 Oktober 2025) di SLBN Pembinaan Malang, ratusan peserta yang terdiri dari guru PAI, pendamping SLB, dan Muslim Tuli mengikuti pelatihan intensif tentang metode pembelajaran Al-Qur’an berbasis visual dan gerak tangan.
Acara ini menjadi bukti nyata bahwa Jawa Timur kini memimpin gerakan nasional dalam dakwah Qur’ani inklusif. Tidak berlebihan jika dikatakan, dari tangan-tangan yang menari itulah, cahaya Al-Qur’an kini mulai menembus ruang sunyi.
Bahasa Isyarat Sebagai Bahasa Dakwah
Dalam konteks komunikasi keagamaan, bahasa isyarat bukan sekadar alat, tetapi jembatan spiritual. Melalui gerakan tangan, Muslim Tuli belajar membaca ayat-ayat suci dan memahami maknanya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan mereka. Di sinilah terlihat pentingnya komunikasi inklusif dalam manajemen dakwah — sebagaimana ditegaskan dalam penelitian-penelitian terbaru tentang inclusive religious education (Alfian & Rahman, 2023).
Kegiatan Qur’an Isyarat ini memperlihatkan bahwa dakwah tidak selalu harus verbal. Bahasa tangan, bahasa empati, dan bahasa kasih bisa menjadi cara baru memahami pesan Tuhan. Gerakan Tuli Mengaji menjadi pelopor dalam mengubah paradigma komunikasi dakwah — dari monolog menuju dialog, dari ceramah menuju pendampingan.
Misi Qur’ani dan SDGs 2030
Lebih jauh, gerakan Tuli Mengaji relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin ke-4 tentang pendidikan inklusif dan poin ke-10 tentang pengurangan kesenjangan. Indonesia memiliki lebih dari 2 juta penyandang disabilitas rungu, dan sebagian besar beragama Islam. Namun hanya sedikit yang mendapat akses terhadap pendidikan Al-Qur’an.
Maka, program Qur’an Isyarat adalah ikhtiar memerdekakan akses ilmu agama bagi mereka yang selama ini terhalang oleh keterbatasan indera. Dalam pandangan teologis, inilah wujud “amar ma’ruf” dalam bentuk paling nyata — bukan hanya menyeru kebaikan, tapi memastikan setiap insan punya jalan yang sama untuk mengenal Tuhannya.
Nasihat Moral dari Penasihat Ahli Menteri Agama
Dalam Bimtek Qur’an Isyarat di Jawa Timur, Prof. Nur Syam selaku Penasihat Ahli Menteri Agama RI memberi pesan kuat:
“Mengal-Qurankan masyarakat berarti menebar nilai Al-Qur’an ke setiap lapisan, tanpa sekat dan batas. Dan memasyarakatkan Al-Qur’an berarti memastikan tidak ada satu pun warga bangsa yang terpinggirkan dari cahaya wahyu.”
Nasihat itu menggema di antara para guru PAI, relawan, dan santri Tuli yang hadir. Pesan tersebut menegaskan bahwa dakwah sejati bukan tentang seberapa tinggi suara kita di mimbar, tetapi seberapa jauh cahaya Al-Qur’an mampu menjangkau mereka yang tak mampu mendengar.
Dari Tangan yang Menyapa, Cahaya yang Menyala
Kini, lewat gerakan Tuli Mengaji Indonesia, kesunyian mulai menemukan bahasanya. Dari D.I. Yogyakarta hingga Jawa Timur, tangan-tangan itu menari bukan sekadar mengisyaratkan huruf hijaiyah, tetapi menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama yang mendengar, meski tanpa telinga.
Gerakan Qur’an Isyarat bukan hanya proyek sosial, tetapi manifestasi dakwah berkeadilan — menjadikan setiap insan berhak mendapat cahaya petunjuk. Inilah cara baru bangsa ini memahami makna “iqra’”: membaca bukan hanya dengan suara, tapi dengan hati yang mampu menyapa sunyi.
Dan mungkin, dari tangan-tangan itulah kita kembali belajar:
Bahwa untuk mengal-Qurankan masyarakat, kita harus terlebih dahulu memasyarakatkan Al-Qur’an — dalam setiap bahasa, dalam setiap isyarat, dalam setiap hati.