Makrifat Buku Mahasiswa

Makrifat Buku Mahasiswa

Buku adalah keajaiban kultural, dokumen dan narasi peradaban direkam di sana. Kalimat-kalimat di dalamnya secara persuasif dan terkadang mistis memanggil para pembaca untuk memahami dan membentuk sebuah konstruksi pengetahuan terhadap dunia sosial yang tak pernah diam. Pemaknaan ini hadir atas nama martabat manusia tehadap aksara dan wacana. Buku menghantarkan pemilik dan pembacanya untuk mengenali, mengakrabi, dan memenuhi hasrat ilmu pengetahuan. Urusan buku menjadi urusan hasrat, pengetahuan, kultur, dan keimanan.

Mohammad Hatta adalah salah seorang manusia (pengiman) buku. Bapak bangsa itu hadir dengan riwayat buku. Pengisahan ritus keimanan Hatta terhadap buku dapat ditelisik dalam otobiografinya di Untuk Negeriku Jilid 1 (2010). Kisah Hatta mulai mengakrabi buku dikarenakan Tuan Dekker, gurunya di Prins Hendrik School (PHS). Dekker mengenalkan Hatta untuk mengurusi dan membaca buku secara kritis dan mendalam di pelajaran-pelajaran sekolah. Buku-buku pertama yang menjadi milik dan dasar fondasi Hatta membangun perpustakaannya adalah Staathuishoudkunde dari NG. Pierson, De Socialisten dari HP. Quack, dan Het Jaar 2000 dari Bellamy.

Hatta memulai ritus membaca untuk menghabiskan senja dan malam hari. De Socialisten kemudian membawa Hatta lebih jauh untuk memaknai sejarah Sosialisme dari zaman Platon hingga di Perancis pada abad ke 19 dan Robert Owen tentang kooperasi. Hatta kemudian tidak lagi sekadar mengenali buku. Ritus membaca ini yang menjadi musabab Hatta menjadi pengiman buku. Romantisme buku dan Hatta adalah sekelumit narasi tentang makrifat buku. Romantisme ini dapat dilihat dari apresiasi Hatta terhadap buku De Socialisten, “bagiku bacaan itu sangat menarik, sungguh pun bahasa Quack di sana-sini banyak berbunga, di bagian lain agak kaku,  tidak merata. Tetapi, sebagai sumber pengetahuan sangat memikat. Buku itu tidak sedikit menambah pengetahuanku tentang ekonomi dan masalah sosial.” Lalu, romantisme Hatta ini berlanjut hingga puluhan ribu buku bertahun-tahun sesudahnya, dan makrifat semakin lekat.

Mahasiswa dan buku kini menjadi sebuah kronik. Universitas tidak lagi menjadi arena produksi budaya yang disakralkan. Universitas berubah seperti pabrik, sana-sini efisiensi. Narasi dilematis ini hadir menjadi gejala umum. Mahasiswa tidak lagi mengenal buku. Kultur literasi menjadi jauh dari pengakraban mahasiswa sejak kemunculan internet, majalah pop, tabloid, dan kotak hitam bernama televisi. Ini dapat dilihat dari perilaku mahasiswa berekspresi lebih ekspresif dalam tingkah laku, coret-coretan, atau suara, namun tidak untuk teks. Memiliki buku terkadang hanya memenuhi referensi kuliah atau sekedar tertarik penampilan sampul muka. Teks menjadi sangat menakutkan untuk dijamah, dikenali, dan diurusi. Kronik ini pula diabsahkan universitas yang mempermartabatkan diri dengan internet. Digitalisasi teks memang menawarkan kemudahan atas nama efisiensi, namun kesadaran mentalitas mahasiswa untuk membaca dan mengakrabi buku sebelumnya belum terkonstruk secara apik. Kronik ini adalah permasalahan cultural lag yang menurut Karl Manheim menyebabkan masalah inner construction dalam kultur literasi mahasiswa buta buku. Perpustakaan pun kini dilekatkan dengan ruang-ruang digital. Perpustakaan yang seharusnya menjadi situs intelektualitas yang selalu bergerak berganti dengan buku-buku elektronik yang tak tergenggam pemaknaannya oleh mahasiswa. Buku digital itu hanya sekedar dikoleksi tanpa pembacaan dan pengakraban, apalagi buku-buku cetak.

Mahasiswa dan kampus menjadi titik nadzir kultur literasi. Mahasiswa tak lagi ribet mengurusi buku untuk menjadi pengiman buku. Tas-tas mahasiswa tidak dibawa untuk memuat buku-buku, tas kuliah memuat buku tulis (binder), komputer jinjing, alat kosmetik, fotokopi presentasi dosen, dan alat komunikasi keluaran terbaru. Penanda muatan tas mahasiswa yang tak berat karena buku adalah sebuah tautan antara uang dan buku. Buku tak lagi berharga atas kepentingan konstruksi imaji visual mahasiswa dalam dandanan. Mahasiswa tidak lagi mengenal buku sebagai bahan bacaan dan pengayaan yang berharga, ritual fotokopi buku menjadi kebiasaan atas nama ketiadaan uang.

Buku juga tidak lagi mendapat perhatian untuk diakrabi dan dimaknai. Kita juga dapat melihat begitu sepinya perpustakaan-perpustakaan di universitas, daerah, atau di instansi lain. Ruang pembacaan dan penggarapan skripsi malah lebih memprihatinkan. Kerja intelektual bernama skripsi ini mulai dipertanyakan kesahihannya. Ruang-ruang perpustakaan tidak lagi menjadi ruang kerja intelektual, penggarapan skripsi melahirkan kebiasaan baru, copy-paste dari skripsi-skripsi sebelumnya. Skripsi tanpa buku.

Keterasingan antara mahasiswa dan buku berdampak penggunaan bahasa pada situasi pendidikan di kampus. Kampus, centre of execellent yang bangga dengan kreatifitas dan ide-ide baru hanyalah sekadar wacana tak terpraktikkan. Pembisuan terhadap mahasiswa sepertinya menjadi yang diwajibkan, bahasa dan buku referensi baru dalam penguraian ide dan gagasan dianggap mengganggu harmoni struktur pendidikan kampus. Dosen text book pun berlimpah ruah. Penguraian ide-ide dikotak-kotakkan dengan orientasi lulus ujian, formalitas administratif, bukan pada penguasaan ilmu yang akrab dengan buku-buku.

Perubahan pemaknaan terhadap buku melenakan. Nasib buku kini lebih parah, tidak lagi terdengar pembredelan atau pembatasan edaran buku-buku tertentu seperti kasus Multatuli dan Pramoedya Ananta Toer misalnya, melainkan buku-buku lebih kesepian, tak terjamah. Keberlimpahan buku kini tanpa ada dibarengi ritus mengenali, mengakrabi, dan mengimani buku. Kesahihan ilmu pengetahuan perlahan dipertanyakan, pelacakan identitas pun tak terjamah oleh alienasi mahasiswa dengan buku. Padahal, makrifat terhadap buku adalah sebentuk kebutuhan mahasiswa untuk menemukan diri, jalan hidup, kesadaran dan sensivitas untuk merumuskan keadaan dan permasalahan. Inilah yang dilakukan Hatta sebagai seorang “arif” terhadap buku.

 

Maulana Kurnia Putra, S.Sos., MA.

Amil Zakat Daarul Qur’an dan Pekerja Sosial – @maulanakurnia

Bagikan

KISAH INSPIRATIF LAINNYA

KISAH INSPIRATIF LAINNYA