Menuntut ilmu merupakan kegiatan yang dianggap melelahkan dan seringkali memunculkan kebosanan dalam prosesnya. Pasalnya, para penuntut ilmu biasanya mau tidak mau harus melakukan hal yang cukup berat khususnya bagi pikirannya dan dilakukan secara berulang-ulang di setiap harinya.
Contohnya seperti berkutat pada buku-buku dengan berbagai materi yang disampaikan oleh guru di dalam kelas dengan jam yang cukup padat. Akhirnya, kelelahan dan kebosanan menjadi seperti santapan tiap tahun, bulan, pekan, bahkan bagi sebagian orang mungkin tiap hari yang tidak terhindarkan. Walaupun merupakan sesuatu yang niscaya, baik kelelahan maupun kebosanan keduanya adalah hal yang perlu diatasi. Sehingga, para penuntut ilmu tetap dapat mencapai titik optimal dalam proses belajar. Saking pentingnya, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sampai menyinggung soal itu dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal Muta’allim.
Menuntut Ilmu merupakan bagian dari perjuangan ulama untuk bangkit mengubah tatanan sosial, mereka berusaha menjaga dan merawat tanah air yang berawal dari lingkup lokal. Kondisi dan tatanan kehidupan sosial yang tidak seimbang dan cenderung negatif menggerakkan para ulama untuk melakukan langkah perubahan ke arah yang lebih baik. Tentu selain kewajiban mereka mengamalkan ilmunya setelah bertahun-tahun menimba ilmu di tanah Hijaz, Mekkah dan Madinah. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari, KH. Tubagus Muhammad Falak (1842-1972), KH. Bisri Syansuri, KH. Syamsul Arifin Situbondo, serta ulama-ulama lain di berbagai daerah yang menginisiasi kebangkitan ulama melalui perjuangan mendirikan pesantren di daerah yang terbilang ada dalam kondisi tatanan sosial yang sangat negatif. Begitulah mestinya pijakan awal perjuangan agama, mengubah dari kondisi negatif ke tatanan sosial yang lebih baik dalam bingkai religiusitas komunal, bukan individual.
Dalam sejumlah literatur sejarah, di penghujung abad ke-19, tepatnya pada tahun 1899, KH. Hasyim Asy’ari bangkit mendirikan ‘tratak’ (bangunan yang belum sempurna) berukuran sekitar 10 x 10 meter persegi di Kampung Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, sekitar 8 kilometer di selatan Kota Jombang. Masyarakat mengenal Tebuireng sebagai daerah yang sangat rawan. Pembunuhan, pencurian, perampokan, dan perkelahian hampir terjadi setiap hari. Aroma anyir tatanan sosial tersebut semakin kuat dengan hadirnya tempat-tempat maksiat seperti perjudian, pelacuran, dan mabuk-mabukan di setiap sudut kampung. Namun kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah KH. Hasyim Asy’ari untuk menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh masyarakat kala itu.
Perjuangan mendirikan pondok untuk belajar agama Islam secara mendalam setiap hari mendapatkan rintangan yang beberapa kali mengancam jiwa KH. Hasyim Asy’ari dan santrinya yang saat itu masih bisa dihitung jari. Melihat kondisi tersebut, Kiai Hasyim merasa perlu mempelajari ilmu bela diri, begitu juga dengan para santrinya. Akhirnya Kiai Hasyim mengutus seorang santrinya pergi ke Cirebon, Jawa Barat untuk meminta bantuan kepada Kyai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syamsuri Wanantara, Kiai Abdul Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Saleh Benda Kerep. Kelima kiai tersebut merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka dikenal ahli dalam ilmu silat dan sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih Kiai Hasyim dan para santrinya. Ilmu bela diri tersebut terbukti ampuh untuk menghadapi para penjahat yang terus berusaha mengganggu aktivitas belajar agama di Pondok Tebuireng. Bahkan, Kiai Hasyim dengan kelembutan akhlaknya mudah saja memberikan pengampunan kepada para penjahat sehingga dengan sendirinya mereka bertobat dan memohon kepada Kiai Hasyim agar dijadikan sebagai muridnya di pondok.
Perjuangan Kiai Hasyim di atas hanya salah satu contoh terhadap banyaknya ulama yang melakukan perjuangan serupa di berbagai daerah meski dalam kondisi masih terjajah oleh Belanda saat itu. Selain itu tanda bahwa ilmu yang dimiliki seseorang bermanfaat adalah dapat memberikan pencerahan dan pengayoman di tengah-tengah masyarakat. Pengayoman dan khidmah dengan ilmu yang dimiliki seseorang, dalam hal ini santri, juga menjadi keberkahan dari ilmunya. Dan salah satu bukti keberkahan pengabdian beliau adalah perjuangan santri beliau turun temurun masih berkelanjutan hingga sekarang, sebagaimana tutur salah satu ulama kita,”Agar ilmunya barokah, santri wajib ber-mudzakarah, berkhidmat, berjuang di masyarakat dan mendapat ridha guru,”mengutip Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Wallahu A’lam Bishawab.
Pengisi Rubik :
H. Moch. Ikhwan, S.S., M.Si., M.Pd.I