ACHMAD SOEBARDJO DALAM SEJARAH KEMERDEKAAN

ACHMAD SOEBARDJO DALAM SEJARAH KEMERDEKAAN

Salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, terlebih menjelang proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo yang lahir pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat.

Achmad Soebardjo merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, yaitu hasil perkawinan dari Teuku Muhammad Yusuf dengan Wardinah. Ayahnya berasal dari keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, sedangkan ibunya seorang putri camat di Teluk Agung, Cirebon keturunan Jawa–Bugis yang berasal dari Jawa Tengah.

Ayah Soebardjo memiliki sifat pendiam, hanya berbicara jika ada suatu hal yang dianggap perlu untuk disampaikan. Berbeda dengan sifat ayahnya, ibunya memiliki sifat kebalikan dari ayahnya. Ibunya termasuk orang yang memiliki sifat cekatan, cepat bertindak, dan penuh dengan pikiran-pikiran yang berguna. Keterampilan yang dimiliki oleh ibunya adalah membatik dan memasak. Selain itu, ibunya juga pandai mengaji dan menulis huruf-huruf Jawa.

Petuah yang selalu diajarkan oleh ayahnya adalah ungkapan dalam bahasa Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Makna ungkapan tersebut, yaitu seseorang boleh mempunyai ambisi, tapi jangan mengejar kemasyhuran, jalankan kewajiban dan tugas, serta jangan pedulikan kata orang tentang hasil kerja.

Achmad Soebardjo dianggap sebagai salah satu tokoh berpengaruh sehingga ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian berganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). BPUPKI dan PPKI dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia lantaran mengalami rangkaian kekalahan di Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua dari Sekutu pada 1944-1945.

Di kalangan Indonesia sendiri terjadi perbedaan pendapat. Golongan tua seperti Achmad Soebardjo, Sukarno, Hatta, dan lainnya, cenderung mengikuti anjuran Jepang dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, golongan muda ingin agar proklamasi kemerdekaan RI dinyatakan secepat mungkin. Dari sinilah kemudian terjadi Peristiwa Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945. Para pemuda revolusioner seperti termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Singgih, dan lainnya membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, dekat Karawang, agar dua tokoh sentral tersebut tidak terpengaruh oleh Jepang.

Sementara itu, di Jakarta terjadi perundingan antara golongan muda dan Achmad Soebardjo yang mewakili golongan tua. Achmad Soebardjo akhirnya setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu janji-janji dari Jepang. Maka, dengan diantar oleh beberapa pemuda, Achmad Soebardjo menjemput Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Achmad Soebardjo meyakinkan kepada golongan muda bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul setengah 12 siang. Di Jakarta, timbul masalah baru mengenai tempat yang aman dari pantauan orang-orang pemerintahan maupun aparat Jepang untuk menyusun naskah proklamasi. Sekali lagi Achmad Soebardjo mengambil peran krusial. Ia mengusulkan kediaman Laksamana Muda Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Konsep naskah proklamasi disusun oleh Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan berdiskusi dengan para pemuda, dini hari tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno meminta Sayuti Melik untuk mengetik teks naskah proklamasi. Pagi harinya, naskah proklamasi kemerdekaan itu diucapkan Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, atau yang merupakan kediaman Bung Karno. Sehari setelah proklamasi, tanggal 18 Agustus 1945, Achmad Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri RI pertama untuk mengisi Kabinet Presidensial yang dipimpin Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta selaku wakil presiden.

Jabatan sebagai Menteri Luar Negeri RI diemban Achmad Soebardjo hingga 14 November 1945. Sebagai penerusnya adalah Soetan Sjahrir. Achmad Soebardjo kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri pada periode 1951-1952. Berikutnya, ia menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Swiss antara tahun 1957-1961. Tanggal 15 Desember 1978, Achmad Soebardjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta, karena sakit. Achmad Soebardjo dimakamkan di Cipayung, Bogor. Tahun 2009, Pemerintah RI menetapkan Achmad Soebardjo sebagai Pahlawan Nasional.

Bagikan

KISAH INSPIRATIF LAINNYA

KISAH INSPIRATIF LAINNYA