Hilangnya Ketelitian Memori, Sulitnya Menuliskan Peristiwa menuliskan obrolan bareng Mas Kabut (Bandung Mawardi) siang tadi

feature

Di tengah derasnya arus informasi digital, menulis menjadi aktivitas yang ironis: dilakukan setiap hari, tetapi makin jarang dengan kedalaman perasaan dan makna. Kita menyaksikan generasi muda yang sangat piawai merangkai caption , membuat thread viral, atau menyusun slide carousel di media sosial. Namun, saat diminta menulis sebuah peristiwa secara naratif dan mendalam dalam bentuk feature, banyak dari mereka kehilangan kata, kehilangan irama, dan kehilangan detail.

Feature bukan sekadar laporan fakta. Feature adalah jembatan antara pengalaman dan emosi, antara observasi dan refleksi. Untuk menulis feature yang baik, seseorang harus mampu menyusun peristiwa, suasana, dan sudut pandang secara padu. Tapi keterampilan ini menuntut waktu, kesabaran, dan yang paling penting adalah pengalaman hidup yang sungguh dihayati dan dimaknai. Sayangnya, banyak anak muda hari ini tumbuh dalam dunia yang menuntut instan, cepat, dan serba visual.

Salah satu sebab utama hilangnya ketajaman naratif ini adalah paparan terhadap informasi yang terlalu cepat dan dangkal. Media sosial membentuk budaya scrolling , bukan mendalami dan memaknai. Peristiwa yang seharusnya bisa menjadi narasi hidup hanya menjadi fragmen video, potongan foto, atau emoji yang semuanya lewat begitu saja tanpa sempat melekat di ingatan jangka panjang. Pada akhirnya, generasi muda hari ini ketika diminta menulis, yang muncul hanya permukaan peristiwa, tanpa akar emosional dan pemaknaan.

Lebih jauh, pendidikan literasi kita pun belum memberikan ruang yang cukup untuk menulis secara reflektif dan naratif. Sekolah lebih sering melatih membuat teks eksposisi dan argumen logis, ketimbang mengasah keterampilan menyusun pengalaman menjadi kisah yang hidup. Kemampuan observasi, mendeskripsikan, dan memberi makna atas pengalaman nyata jarang dilatih. Padahal, dalam tulisan feature, justru di sanalah letak keindahan dan kejujurannya untuk pembaca, menjadi saksi zaman, dan melestarikan pesan-pesan bestari.

Generasi muda saat ini juga lebih terbiasa mendokumentasikan peristiwa dengan kamera ketimbang dengan tulisan. Mereka merekam, mengunggah, dan bergerak ke momen berikutnya. Tidak ada ruang untuk hening, untuk menoleh ke belakang dan bertanya, “apa yang sebenarnya terjadi tadi?”. Tanpa proses refleksi ini, tulisan menjadi datar, tidak punya nafas, dan mudah tergantikan.

Faktor lain adalah adanya rasa takut akan ketidaksempurnaan. Banyak anak muda membandingkan tulisannya dengan karya monumental penulis senior, lalu merasa tidak layak. Padahal, kekuatan tulisan naratif justru lahir dari keberanian menuliskan hal-hal kecil, getir, kadang canggung, tapi otentik. Jika terus terjebak dalam standar sempurna yang abstrak atau semu, maka proses kreatif akan selalu terhambat di langkah pertama, merasa berat menuliskan kalimat pertamanya.

Sastra Indonesia dari tahun 1940 hingga 1990-an menunjukkan betapa kekuatan naratif dan ingatan detail bisa menjadi jantung sebuah tulisan. Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia (1980: 16) misalnya, tidak sekadar menarasikan tokoh Nyai Ontosoroh, tapi menyelami sisi terdalamnya. “ Dan segera kemudian muncul seorang wanita Pribumi, berkain, berkebaya putih dihiasi renda-renda mahal, mungkin bikinan Naarden seperti diajarkan di ELS. dulu. Mengenakan kasut beledu hitam bersulam benang perak. Permunculannya begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasnya yang sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. ” Ini Ini bukan sekadar deskripsi visual, tapi olahan rasa yang dalam. Pram tidak hanya mengajak pembaca untuk “melihat” saja, tetapi juga menyerap suasana.

Mochtar Lubis dalam Jalan Tak Ada Ujung (1952) bahkan sanggup menggambarkan jalan gang sempit Jakarta pada masa revolusi dengan bau got, becek tanah, dan asap minyak tanah. Pembaca bukan hanya “melihat” suasana, tapi “masuk” ke dalamnya. Begitu pula Umar Kayam, Nh. Dini, dan Seno Gumira Ajidarma yang semuanya menuliskan dengan indera yang utuh. Mereka menulis dengan semua indera dan perasaan yang mendalam. Mereka tidak tergesa. Mereka mengendapkan pengalaman sebelum mengungkapkannya.

Dalam cerpen berjudul Sri Sumarah di buku antologi cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), Umar Kayam menuliskan “ Sri melepaskan perhiasannya. Sri melepaskan sanggulnya. Sri mengenakan dasternya yang lusuh. Di dalam cermin, Sri melihat seorang wanita, capek, berurai rambut, hampir tua, tetap masih bisa sedikit tersenyum. Betulkah tersenyum itu? Sri tidak berbicara atau bertanya kepada wanita itu sebab Ginuk sudah mulai bernyanyi… ”.

Dalam Jazz, Parfum dan Insiden (1996), Seno menggambarkan darah yang tercecer di trotoar dan sehelai saputangan yang basah. Itu bukan sekadar benda, tapi simbol kehadiran dan kehilangan. Dalam satu paragraf, Seno memperlihatkan bagaimana tulisan bisa merekam trauma dan kenangan lebih dalam dari kamera. Ini adalah keterampilan yang sulit dimiliki tanpa latihan observasi dan empati yang berkelanjutan. Observasi dan empati adalah dua kebiasaan yang langka dilakoni anak muda hari ini.

Menulis feature adalah seni merawat kenangan. Ini bukan tentang gaya bahasa yang puitis atau teknik jurnalistik yang rumit, tapi tentang keberanian untuk menengok peristiwa, merasakannya kembali, dan menuliskannya secara jujur dengan penuh jujur yang sederhana. Tanpa kemampuan menulis feature, kita hanya akan menjadi penonton setiap peristiwa, bukan saksi yang menyimpan makna.

Menghidupkan kembali kemampuan menulis feature di kalangan generasi muda memerlukan usaha kolektif. Perlu ada kewajiban ruang-ruang menulis reflektif di sekolah, komunitas, bahkan media sosial. Pun perlu mempertemukan anak muda dengan karya-karya klasik (dari penulis dalam dan luar negeri), latihan observasi, dan menulis narasi kecil tentang hal-hal sehari-hari. Karena pada akhirnya, yang akan bertahan bukan yang paling viral, tetapi yang paling membekas dan memberi pesan pada para pembaca.

Feature akan tetap hidup jika generasi muda mau melambat. Mau menoleh ke belakang. Mau bertanya tentang apa makna dari yang baru saja dialami. Dan akhirnya mau menuliskannya. Bukan untuk likes , bukan untuk pamer di media sosial, namun agar pengalaman itu punya jejak, punya bentuk, dan tak hilang begitu saja ditelan waktu.

Yogyakarta, menuju Stasiun Tugu menjelang Ashar
Ahad, 29 Juni 2025

Maulana Kurnia Putra, S.Sos., MA.

Bagikan

KISAH INSPIRATIF LAINNYA

KISAH INSPIRATIF LAINNYA