Hubungan adat istiadat dengan masyarakat Indonesia sangat kental, mau latar belakang agama apapun rata-rata sulit melepas kebiasaan yang telah diwariskan leluhur, seperti halnya Nyadran dan Ruwahan. Kebiasaan yang masih dilestarikan hingga saat ini diantaranya “Nyadran”. Tradisi Nyadran bukan adat baru yang dibawa agama Islam. Melainkan semenjak kerajaan Majapahit tradisi ini diperkenalkan.
Dulu, tujuan masyarakat mengadakan Nyadran untuk menghormati roh orang meninggal. Dengan memberi sesaji serta mengucap pujian, berharap arwah leluhur dilimpahi keselamatan. Keadaan berubah membaik setelah walisongo menyisipkan nilai Islam di dalamnya. Masyarakat tidak dilarang terus mengamalkan tradisi Nyadran. Hanya dituntun perlahan untuk mengubah sesaji dengan menabur bunga di atas makam. Mengucap pujian diganti mendoakan agar arwah diampuni Tuhan.
Maka dari itu, ziarah kubur menjelang Ramadhan kerap kita jumpai. Sebab, kegiatan ini terjadi satu tahun sekali pada bulan Sya’ban. Kalau orang Jawa lebih akrab menamakan Sya’ban dengan Ruwah. Ruwah, istilah yang diserap dari bahasa Arab. Jadi Ruwahan maksudnya mengenang para arwah yang telah meninggal dunia. Keyakinan orang Jawa Kuno pada arwah leluhur dikaitkan dengan kehidupan mereka dan anak cucu di dunia. Apabila keturunan yang masih hidup tidak mendatangi makam leluhurnya, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Namun, lagi-lagi Islam menggeser keyakinan tersebut menjadi ziarah kubur sebagai sarana muhasabah atau introspeksi diri. Perbuatan kita selama satu tahun, sibuk mengejar urusan dunia, lalai akan ibadah semuanya akan binasa. Makam yang diziarahi akan membuka mata hati sekaligus menyadarkan bahwasanya akhir dari semua yang sudah kita lakukan adalah kematian. Oleh karena itu, dalam memburu harta tetap ingatlah Sang Kuasa.
Di bulan Sya’ban selain ziarah kubur masyarakat menggelar acara selamatan pula. Duduk melingkar di Musholla atau Masjid, di tengahnya ada tumpeng. Lalu tahlilan dilanjut membaca doa, tidak lupa sedikit wejangan dari Kyai atau sambutan sesepuh daerah setempat. Tumpeng yang selesai dibacakan doa selanjutnya dibagi dan di makan bersama. Hal semacam ini merupakan wasilah kirim doa juga bentuk rasa senang menyambut bulan suci Ramadhan.
Tradisi Ruwahan di luar Pulau Jawa hampir semuanya sama. Satu contoh di Sumatera. Budaya Sumatera sedikit banyak tercampur dengan Hindu dan Islam. Kegiatan yang dilakukan saat Sya’ban juga mendoakan arwah leluhur dengan mengundang tetangga untuk datang ke rumah. Niatnya beramal jariah dan menguatkan kekerabatan. Bahkan orang Sumatera beranggapan tradisi Ruwah mengandung tiga nilai utama yakni sosial, religi dan budaya.
Entah dimanapun tradisi Ruwahan dilakukan bersyukurlah. Walisongo sungguh indah mengemas tradisi yang mulanya menyimpang lalu disesuaikan dengan ajaran Islam. Bulan Sya’ban terkhusus Nisfu Sya’ban adalah bulan yang diperuntukkan Rasulullah ziarah demi meminta restu menjelang Ramadhan. Bulan ini termasuk bulan Allah memberikan ampunan. Maka, nyadran versi Islam khas dengan bakti pada orang tua, kirim doa untuk leluhur, silaturahmi, dan lain sebagainya. Islam sangatlah luwes. Pada dasarnya selalu memudahkan siapa saja yang memeluk Islam. Tetapi sebagai umat, kita lebih sering mengesampingkan taat. Dari tradisi seharusnya semakin sadar Allah mengatur semua secara rinci. Bukan malah kembali menghidupkan kebiasaan buruk yang tidak berarti.