Dalam tradisi masyarakat islam Indonesia, laki-laki dianggap penanggungjawab istrinya. Sehingga muncul istilah ucapan bahwa, perempuan di hadapan laki-laki adalah suwargo nunut, neroko katut (masuk surga dan nerakanya perempuan mengikuti suaminya). Perumpamaan di atas dalam level tertentu ada benarnya. Tapi, apakah selamanya demikian sehingga perempuan tidak memiliki kemandirian dalam keimanannya? Jika menilik kisah yang tercantum dalam al-Qur’an, ternyata ungkapan Jawa tersebut tidak sepenuhnya benar. Mengenai kebebasan keimanan perempuan, ada satu hal yang oleh Allah diperintahkan kepada umat islam, melalui sebuah kisah yang terdapat dalam QS Al-Tahrim Ayat 10.
ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّـلَّذِيۡنَ كَفَرُوا امۡرَاَتَ نُوۡحٍ وَّ امۡرَاَتَ لُوۡطٍ ؕ كَانَـتَا تَحۡتَ عَبۡدَيۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَالِحَـيۡنِ فَخَانَتٰهُمَا فَلَمۡ يُغۡنِيَا عَنۡهُمَا مِنَ اللّٰهِ شَيۡــًٔا وَّقِيۡلَ ادۡخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِيۡنَ
Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”
Dengan perumpamaan tersebut, Allah SWT menceritakan kepada umat islam mengenai kisah dua istri nabi yakni nabi Nuh dan Nabi luth, yang tidak beriman dan tetap kafir hingga akhir hayatnya. Keduanya tidak tertolong meskipun mereka adalah istri Rasulullah sehingga keduannya masuk neraka. Dalam kisah tersebut, Allah SWT tidak menyebut secara langsung siapa nama perempuan itu. Dia hanya mengatakan keduannya adalah istri nabi dan rosul. Identitasnya dirahasiakan, tujuannya agar umat manusia dapat mengambil hikmahnya, yakni bahwa tidak semua perempuan pasti mengikuti suaminya dalam keimanan. Terbukti bahwa kedua perempuan tersebut adalah istri rosul mulia namun demikian, keduanya tidak mampu mempengaruhi istrinya untuk beriman kepada Allah SWT. Hal tersebut menjadi pelajaran yang Allah inginkan untuk kita ketahui melalui kisah tersebut, yakni bahwa perempuan mempunyai kemandirian dalam menentukan pilihannya untuk beriman atau tidak. Suami tidak mampu mempengaruhi untuk beriman, sekalipun ia adalah seorang Rosul.
Setiap pria dan wanita mempunyai hak dan kebebasan menentukkan keyakinan. Jika sekiranya wanita itu dalam hal keimanan yang mutlak, ia harus ikut suaminya, tentu dalam perhitungan amal kelak, yang menanggung beban berat adalah hanya kaum pria. Oleh sebab itu Allah SWT juga memberikan kebebasan kepada perempuan dalam memilih akidahnya, sebab dia akan mempertanggungjawabkan amal ibadahnya sendiri. Bukan suaminya sebagaimana yang termashyur di masyarakat. Disisi lain Allah juga memberikan perumpamaan Istri Fir’aun bagi orang-orang yang beriman yang tertulis dalam ayat QS Al-Tahrim ayat 11 dan Allah membuat istri fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata “ya Tuhanku, bagunkanlah untukku sebuah rumah di sisimu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatanya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”.
Allah tidak menjelaskan secara jelas siapa nama istri Fir’aun tersebut. Allah SWT juga tidak menyebut istri Fir’aun yang mana, diantara sekian banyak istri yang ia miliki. Dalam hal tersebut Allah SWT mengetahui bahwa sekuat apapun Fir’aun, ia tiak bisa memaksa dan menyeret istrinya agar menjadi kafir, sebagaimana dirinya. Sebaliknya istri juga mempertahankan keimananya dengan segala resiko yang akan ditanggungnya. Singkatnya Allah menjelaskan pada umat islam, bahwa perempuan mempunyai otoritas kemandirian dalam hal keimanan. Agar hikmah dari penuturan kisah di atas tergulir sepanjang zaman dan disegala tempat. Maka tidaklah perlu disebut siapa nama istri nabi Nuh. Luth dan Fir’aun.
Kendati demikian, seorang suami juga berhak untuk mengajarkan istrinya kebaikan, mengajak untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya tanpa paksaan. Sebab bagaimanapun juga, yang berhak memberi hidayah kepada perempuan dalam beriman adalah Allah. Bukan seorang suami. Kehadiran laki-laki, begitu juga perempuan adalah untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling memberi motivasi untuk giat dan bertaqwa kepada Allah SWT.