Lorong Saksi Cahaya: Bertumbuhnya Al-Qur’an di Balik Jeruji

Lorong sempit itu tampak biasa saja di mata siapa pun yang pertama kali melangkahinya. Di satu sisi, dindingnya dihiasi mural masjid yang seolah mengapung di antara langit senja dan samudera yang tenang. Di sisi lainnya, bangunan berwarna putih berhiaskan jendela-jendela besi memantulkan siluet dari kehidupan di dalamnya. Tak ada yang tahu, lorong ini telah menjadi saksi bisu bagaimana cahaya Al-Qur’an perlahan tumbuh dan menetap di tengah kegelapan narapidana LAPAS Kelas IIA Yogyakarta.

Setiap pagi dan sore, lorong itu dipenuhi langkah para santri yang menuju Madrasah Al-Fajar, sebuah bangunan panjang dengan lima ruang di dalam penjara yang kini menjadi tempat bersemi harapan baru. Mereka tak hanya membawa pena atau buku catatan, yang mereka bawa juga rasa haus akan makna dan pengampunan di dalam dada. Di ruang itulah, huruf demi huruf ayat demi ayat dibaca, diulang, dihafal, dan dihayati.

Madrasah ini berdiri bersisian dengan Masjid Al-Fajar, pusat spiritual yang menampung rintihan doa, tangis tobat, dan harapan-harapan baru. Dari dua ruang inilah, 500 lebih narapidana belajar membaca dan memahami Al-Qur’an, menjadikan lembaga pemasyarakatan bukan sekadar tempat menebus kesalahan, tetapi juga tempat kelahiran kembali dengan Al-Qur’an yang melekat dan menemani sepanjang waktu.

Yang membimbing sepanjang waktu bukanlah para santri atau ustadz dari luar, melainkan para narapidana sendiri yang telah terpilih menjadi Guru Al-Qur’an. Ada lima belas di antaranya. Mereka adalah para guru yang sebelumnya belajar dengan keras, menuntaskan berbagai jenjang pembelajaran, dan kini mengikuti program Dawrah dan Sertifikasi Guru Al-Qur’an untuk memperkuat kapasitas dan amanah mereka yang digelar oleh PPPA Daarul Qur’an dan Baitul Maal Merapi Merbabu Jogjakarta.

Mereka bukan hanya guru, mereka adalah sahabat seperjalanan dalam “menjadi pelopor kebaikan”, pembuka pintu pengharapan di antara dinding-dinding penuh harapan. Dengan suara lirih namun penuh keyakinan, mereka membacakan ayat-ayat suci, membimbing para santri menghafal surah demi surah, memaknai setiap lafal sebagai jalan pulang kepada Allah SWT..

Program Dawrah ini bukan sekadar pelatihan. Ia adalah pembebasan yang sesungguhnya. Di tengah jeruji, para narapidana menemukan makna kebebasan melalui huruf-huruf hijaiyah yang mereka eja, pelajari, dan hafal. Di balik tembok tinggi dan kawat berduri, tumbuh taman-taman kecil dalam dada mereka, yakni taman dengan Al-Qur’an yang terus bertumbuhkembang.

Dari 500 santri itu, sekitar 40 orang kini telah menghafal Al-Qur’an antara 1 hingga 13 juz. Angka yang luar biasa bukan karena besarnya capaian, tapi karena tempat mereka tumbuh bukanlah pesantren atau sekolah, melainkan lembaga pemasyarakatan yang menghadirkan Al-Qur’an di tengah hari-hari warga binaannya. Setiap ayat yang mereka hafal adalah bentuk pengharapan, setiap surah yang mereka kuasai adalah jembatan kembali kepada keluarga, masyarakat, dan Allah SWT.. Di lorong antara Masjid dan Madrasah Al-Fajar, para narapidana belajar menjadi manusia baru yang dulu terluka, kini sedang menyembuhkan diri dan orang lain.

Lorong yang menjadi saksi semua itu menjelma menjadi jalan suci. Jalan yang menghubungkan dua dunia: dunia masa lalu dan dunia bercahaya masa depan setiap warga di dalamnya. Setiap langkah di sana membawa mereka semakin dekat kepada cahaya Ilahi. Dinding berwarna hijau yang bersahaja itu tak mampu menyembunyikan kehidupan yang kini bergelora di dalam. Setiap jendela di sepanjang madrasah menjadi matahari kecil yang menyinari wajah-wajah penuh semangat. Ada yang datang dengan luka, namun pulang membawa sepotong surga dalam dada dada yang tengah melapang.

Guru-guru Al-Qur’an di LAPAS Kelas IIA Yogyakarta ini kini bukan hanya mengajarkan ayat-ayat suci, mereka juga membuktikan bahwa setiap orang berhak untuk berbenah. Bahwa masa lalu bukanlah vonis akhir, dan setiap manusia berhak untuk berharap dan diselamatkan. Tak banyak tempat di dunia ini yang menyimpan kisah sebagaimana yang tersimpan di lorong itu. Sebuah lorong kecil yang mengantar manusia menuju kemuliaan. Lorong yang mungkin tak banyak dikenal, namun kini menjadi jalan bertumbuhnya cahaya Al-Qur’an di hati mereka yang pernah berjalan di tengah gelap.

Di saban akhir hari, lorong itu kembali sunyi. Namun, gema Al-Qur’an tetap bergetar di udara tertinggal di dinding lorong itu, di hati para penghafal, dan di langit-langit penjara yang kini tak lagi hanya menjadi saksi dosa, tapi juga ladang pahala yang luas untuk masa depan yang lebih bercahaya dan memberikan manfaat.

Bagikan

KISAH INSPIRATIF LAINNYA

KISAH INSPIRATIF LAINNYA