Penulis:
Dr. KH. M. Sukron Djazilan, S. Ag. M. Pd (Dosen UNUSA)
Cinta tanah air bukan sekadar slogan, melainkan wujud nyata dari iman dan tanggung jawab sosial. Dalam Islam, konsep hubbul wathan minal iman mengajarkan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan. Maka sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita menunjukkan cinta pada negeri ini melalui tindakan sederhana seperti mematuhi hukum dan membayar pajak. Selain itu, menjaga akhlak dan tidak mencaci negara sendiri menjadi bagian penting dari kontribusi terhadap kedamaian sosial. Mengkritik boleh, tapi harus disertai solusi, bukan sekadar keluhan tanpa arah.
Indonesia adalah negeri besar yang tak bisa ditopang oleh satu atau dua orang saja. Setiap individu memiliki peran dan kapasitas masing-masing untuk berkontribusi. Mahasiswa dituntut untuk produktif, guru mendidik generasi emas, dan pengusaha memperkuat ekonomi rakyat. Oleh karena itu, semua pihak harus berkarya maksimal sesuai peran masing-masing.
Di lingkungan pesantren, para santri dan pengasuh harus memperkuat kualitas pendidikan dan karakter. Pesantren harus mampu mencetak generasi berakhlak mulia dan berkapasitas tinggi. Pengusaha juga dituntut untuk memberdayakan UMKM agar ekonomi masyarakat tumbuh bersama. Guru harus mempersiapkan anak didiknya menjadi pemimpin masa depan yang tangguh. Semua pihak memikul tanggung jawab besar untuk kemajuan negeri.
Indonesia Emas 2045 adalah harapan besar bangsa. Namun yang akan mewujudkannya bukanlah mereka yang kini memimpin, melainkan generasi muda hari ini. Maka, pembentukan karakter menjadi kunci utama. Kecerdasan penting, tetapi tak cukup tanpa kemampuan sosial dan diplomasi. Pemimpin masa depan harus mampu membangun jejaring dan kerja sama lintas negara karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri.
Pendidikan karakter perlu ditanamkan sejak dini melalui berbagai mata pelajaran dan kegiatan. Setiap kampus juga dapat menonjolkan nilai-nilai unggulannya seperti bela negara, multikulturalisme, atau Aswaja. Di pesantren, nilai rahmatan lil ‘alamin dan gotong royong dapat dibiasakan lewat kerja bakti dan kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak hanya menghasilkan lulusan pintar, tapi juga berkarakter. Pendidikan yang menyeluruh akan menjadi pondasi bagi bangsa yang kuat.
Di pesantren, pembentukan karakter sosial diajarkan melalui praktik nyata seperti kerja bakti dan kegiatan kemasyarakatan. Nilai rahmatan lil alamin perlu ditanamkan agar santri tidak hanya alim, tetapi juga peduli sosial. Kegiatan keagamaan pun dilakukan secara proporsional, tidak berlebihan, agar keseimbangan tetap terjaga. Pesantren menjadi ruang lahirnya pribadi yang matang secara spiritual dan sosial. Pendidikan harus menyentuh seluruh aspek kehidupan.
Namun demikian, kita sedang menghadapi tantangan berat berupa degradasi moral. Praktik korupsi kini tak hanya di pusat, tapi merambah hingga desa dan tingkat RT. Hal ini menunjukkan bahwa yang rusak bukan hanya sistem, melainkan moral manusianya. Dalam konteks ini, peringatan Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah Ra.:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ شَرٌّ مِنَ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ، أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ
Artinya: ”Tidaklah datang suatu tahun atas kalian, melainkan ia lebih buruk dari tahun sebelumnya. Aku tidak bermaksud (buruk) dalam hal kesuburan atau rezeki.” (HR. Ad-Darimi No.194)
Hadis ini menjadi pengingat bahwa kualitas moral suatu zaman akan terus menurun jika tidak dijaga. Karenanya, kita tidak boleh pesimis, melainkan terus berusaha memperbaiki keadaan.
Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial luar biasa. Tradisi gotong royong dan kepedulian kepada tetangga menunjukkan kekayaan karakter bangsa kita. Nilai-nilai seperti inilah yang harus dijaga, diwariskan, dan diperkuat. Moralitas dan kejujuran harus menjadi inti dari pendidikan dan kehidupan berbangsa. Mari kita bangun Indonesia dengan akhlak, karya, dan semangat kebersamaan demi negeri yang lebih baik.